Sumur Lapindo Brantas Tak Bisa Disumbat
oleh : achmad abdilah
Sumur di Lapindo Brantas Inc yang mengeluarkan lumpur panas di Sidoarjo, Jatim lebih baik dibiarkan hingga lumpur tersebut habis, karena bila sumur disumbat, lumpur akan tetap keluar dari titik-titik lain.
"Kalau mencoba mematikan lubang sumur dengan cara menutup atau menyumbat, maka akan sulit, bahkan para pakar geologis berpendapat bahwa luapan lumpur panas itu tidak bisa dihentikan", kata Manajer Eskplorasi PT Lapindo Brantas Inc, Ir Bambang Istiadi kepada pers usai melakukan mengisi seminar mengenai dampak bencana Mud Volcano di Sidoarjo, di Bandung, Senin (11/12).
Namun, kata dia, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah menyatakan seberapa pun kecil kemungkinannya, maka upaya penyumbatan itu tetap harus dilakukan dan pihaknya akan terus mengupayakannya.
Dikatakannya, saat ini terdapat 31 titik semburan kecil lumpur panas dan terdapat satu titik semburan yang besar dan bila satu titik besar itu ditutup, maka akan keluar lumpur di titik lainnya dalam satu bidang tersebut.
Bahkan, para pakar geologis meyakinkan bahwa daripada uang tersebut digunakan untuk menyumbat sumur, lebih baik uang tersebut digunakan untuk dikonsentrasikan untuk memperbaiki daerah yang terendam sumur panas dan untuk merelokasi warga karena sumurnya tidak bisa disumbat.
Para pakar geologis itu, katanya, berasal dari Amerika, Norwegia, Itali, Rusia, bahkan pada akhir Desember ini akan ada pakar dari Jepang untuk membantu menyelesaikan permasalahan lumpur panas yang tiada hentinya itu.
Menurut Bambang, saat ini kedalaman lumpur panas itu sekitar 3,5 meter hingga 4 meter karena setiap harinya kedalamannya bertambah tiga centimeter dan daerah yang terendam lumpur panas sangat rentan sekali terjadinya bahaya sebab bisa terjadi amblas.
Kepala Puslit Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Iskandar Zulkarnaen, sependapat bahwa semburan lumpur panas dari sumur Lapindo itu akan sulit dihentikan, kalau disumbat, lumpur akan keluar dari daerah lain.
"Menutup sumur tersebut, akan berhadapan dengan zona patahan yang labil dan potensi amblasnya kawasan tersebut sangat besar", katanya sambil menyebutkan menutup sumur Lapindo tidak bisa dilakukan seperti menutup sumur bor.
Ia menyarankan agar kawasan Sidoarjo yang terendam oleh lumpur panas dari Lapindo lebih baik disterilkan dari aktivitas manusia karena dikhawatirkan akan terjadi bencana kembali sebab kawasan tersebut sangat mudah amblas.
Rabu, 18 Maret 2009
Jilatan api pipa Pertamina di Lapindo membentuk lafal Allah dan kuda laut
Jilatan api pipa Pertamina di Lapindo membentuk lafal Allah dan kuda laut
Surabaya - Allah Maha Besar! Ledakan pipa gas milik Pertamina di lokasi lumpur Lapindo, jalan Tol Porong-Gempol KM 38 22 November 2006 lalu yang menewaskan 13 orang masih menyimpan misteri. Ada yang mengejutkan sesaat api melumat tanggul di sekitar pusat semburan lumpur tersebut.
Seorang pekerja PU yang tergabung dalam Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur Sidoarjo diam-diam berhasil mengabadikan jilatan api yang cukup mecengengangkan. Bagaimana tidak! Tanpa disadarinya, hasil bidikan fotografer amatir yang namanya dirahasiakan itu menunjukkan keagungan Tuhan Yang Maha Esa.
Kok bisa? Api yang membubung setinggi hampir 1 kilometer itu ternyata sempat membentuk lafal Allah dalam tulisan Arab beberapa saat. Selain itu, api itu juga menunjukkan gambar logo lama perusahaan minyak negara, PT Pertamina: kuda laut.
Boleh percaya, boleh juga tidak. Yang jelas, wartawan detikcom yang menerima softcopy foto ini sempat terkejut menyaksikan foto yang selama ini dianggap biasa oleh Timnas itu.
Pengamatan detikcom, foto tersebut kemungkinan dibidik dari tanggul Desa Renokenongo yang berada di bagian utara pusat ledakan. Memang jika dilihat sekilas, foto itu terkesan biasa.
Namun jika foto itu dicermati dan diteliti lebih lama, terlihat jelas apinya membentuk lafal Allah dan kuda laut. Pertanyaan yang muncul apakah itu jilatan api yang membentuk lafal Allah ini kebetulan saja atau memang memuat pesan-pesan dari Allah? Wallau a’lam.
Semburan Lumpur Lapindo akan Habis 31 Tahun Kemudian
Semburan lumpur Sidoarjo dengan total volume lumpur secara keseluruhan mencapai 1.155 miliar m3, mungkin baru bisa berakhir 31 tahun kemudian, jika kondisi tekanan, suhu, dan lain-lain sama seperti kondisi saat ini.
“Dari analisis data seismik, jika debit semburan sebesar 100 ribu m3 per hari konstan dan kondisi lainnya sama, sementara total volume lumpur yang ada di bawah Sidoarjo mencapai 1.155 miliar m3, maka lumpur di dalamnya baru habis 31 tahun kemudian,” kata Direktur Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Inventarisasi Sumber Daya Alam BPPT, Yusuf Surachman pada jumpa pers Solusi Permasalahan dan Penanganan Semburan Lumpur Sidoarjo, di Jakarta, Rabu (18/10).
Berhentinya semburan lumpur tersebut, ujarnya, bisa lebih cepat atau lambat, tergantung tercapainya keseimbangan tekanan hidrostatiknya yang secara alami menyesuaikan diri antara kondisi lumpur di bawah bumi dan yang sudah dikeluarkan. Karena semburan itu merupakan bagian dari proses pembentukan “mud volcano” atau gunung api lumpur, ujarnya, maka selain berdampak berupa luapan lumpur yang berlangsung lama juga mengakibatkan terjadinya penurunan muka tanah (subsidence) di sekitar pusat semburan yang terus-menerus. Lumpur tersebut, urainya, merupakan campuran fluida dan padatan dalam bentuk air asin (88.200 m3 per hari) dan sedimen laut (37.800 m3 per hari) berupa lumpur, pasir, gas, serta uap dengan suhu 100 derajat Celcius di permukaan.
Sementara itu Kepala BPPT, Said Djauharsjah Djenie mengatakan, lumpur panas Sidoarjo diperkirakan berasal dari batuan gunung api dengan temperatur dan tekanan tinggi berusia tak lebih tua dari 4,9 juta tahun yang mengendap pada lingkungan laut.
“Karena itu solusinya dengan cara mengembalikan lumpur yang berasal dari lingkungan laut yang terjadi 4,9 juta tahun yang lalu itu ke lingkungan laut masa kini, ini merupakan pengembalian lumpur ke habitatnya,” katanya.
Metode pengembalian semburan lumpur ke lingkungan laut itu, lanjut dia, dengan mengalirkan lumpur ke perairan dangkal pesisir delta Porong sehingga terbentuk dataran lumpur bagi mangrove belt dan kawasan tambak. Caranya, tambah dia, bisa disalurkan melalui talang lumpur yang ditempatkan di atas tanggul sungai Porong ke muara suangai Porong jika debit air kurang dari 100 m3 per detik seperti pada musim panas Mei-Oktober.
“Tetapi untuk musim hujan November hingga April ketika debit air lebih dari 100 m3 per detik, lumpur bisa dialirkan ke banjiran sungai Porong secara langsung,” katanya. Di muara sungai Porong diusulkan dibangun slufter tertutup, kolam bertanggul untuk menampung lumpur yang dialirkan melalui talang lumpur dan slufter terbuka, sebagai perangkap lumpur yang dialirkan langsung ke sungai Porong.“Cara ini sudah digunakan di Rotterdam, Belanda yang limbahnya lebih banyak lagi,” katanya.
Semburan lumpur Sidoarjo dengan total volume lumpur secara keseluruhan mencapai 1.155 miliar m3, mungkin baru bisa berakhir 31 tahun kemudian, jika kondisi tekanan, suhu, dan lain-lain sama seperti kondisi saat ini.
“Dari analisis data seismik, jika debit semburan sebesar 100 ribu m3 per hari konstan dan kondisi lainnya sama, sementara total volume lumpur yang ada di bawah Sidoarjo mencapai 1.155 miliar m3, maka lumpur di dalamnya baru habis 31 tahun kemudian,” kata Direktur Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Inventarisasi Sumber Daya Alam BPPT, Yusuf Surachman pada jumpa pers Solusi Permasalahan dan Penanganan Semburan Lumpur Sidoarjo, di Jakarta, Rabu (18/10).
Berhentinya semburan lumpur tersebut, ujarnya, bisa lebih cepat atau lambat, tergantung tercapainya keseimbangan tekanan hidrostatiknya yang secara alami menyesuaikan diri antara kondisi lumpur di bawah bumi dan yang sudah dikeluarkan. Karena semburan itu merupakan bagian dari proses pembentukan “mud volcano” atau gunung api lumpur, ujarnya, maka selain berdampak berupa luapan lumpur yang berlangsung lama juga mengakibatkan terjadinya penurunan muka tanah (subsidence) di sekitar pusat semburan yang terus-menerus. Lumpur tersebut, urainya, merupakan campuran fluida dan padatan dalam bentuk air asin (88.200 m3 per hari) dan sedimen laut (37.800 m3 per hari) berupa lumpur, pasir, gas, serta uap dengan suhu 100 derajat Celcius di permukaan.
Sementara itu Kepala BPPT, Said Djauharsjah Djenie mengatakan, lumpur panas Sidoarjo diperkirakan berasal dari batuan gunung api dengan temperatur dan tekanan tinggi berusia tak lebih tua dari 4,9 juta tahun yang mengendap pada lingkungan laut.
“Karena itu solusinya dengan cara mengembalikan lumpur yang berasal dari lingkungan laut yang terjadi 4,9 juta tahun yang lalu itu ke lingkungan laut masa kini, ini merupakan pengembalian lumpur ke habitatnya,” katanya.
Metode pengembalian semburan lumpur ke lingkungan laut itu, lanjut dia, dengan mengalirkan lumpur ke perairan dangkal pesisir delta Porong sehingga terbentuk dataran lumpur bagi mangrove belt dan kawasan tambak. Caranya, tambah dia, bisa disalurkan melalui talang lumpur yang ditempatkan di atas tanggul sungai Porong ke muara suangai Porong jika debit air kurang dari 100 m3 per detik seperti pada musim panas Mei-Oktober.
“Tetapi untuk musim hujan November hingga April ketika debit air lebih dari 100 m3 per detik, lumpur bisa dialirkan ke banjiran sungai Porong secara langsung,” katanya. Di muara sungai Porong diusulkan dibangun slufter tertutup, kolam bertanggul untuk menampung lumpur yang dialirkan melalui talang lumpur dan slufter terbuka, sebagai perangkap lumpur yang dialirkan langsung ke sungai Porong.“Cara ini sudah digunakan di Rotterdam, Belanda yang limbahnya lebih banyak lagi,” katanya.
Penyebab Lumpur Lapindo: Gempa!
PENELITI : ACHMAD ABDILAH SISWA SMPN 1 PRAMBON
JEDONG CANGKRING – Sejumlah ahli menyimpulkan letusan lumpur Lapindo bukan karena human error. Juga tidak pada prosedur eksplorasi tak layak. Penyebabnya, begitu due dilligence dua penelitian, karena faktor alam: gempa!
Teori Richard Davies, geolog asal Universitas Durham, Inggris, tentang lumpur Lapindo, terbantahkan. Davies sebelumnya berpendapat lumpur disebabkan prosedut kegiatan eksplorasi yang tak layak. Dia menilai pengeboran gas Banjar Panji-1 tak memenuhi syarat kelayakan.
Banyak pihak yang menjadikan penelitian Davies sebagai pijakan berpikir dan bertindak. Lapindo nyaris tersudut. Padahal, letusan lumpur, menurut penelitian sebagian besar ilmuwan dari berbagai negara, disebabkan gempa bumi yang pernah melanda Yogyakarta dan sekitarnya.
Kesimpulan penelitian itu terungkap dalam dua laporan terbaru yang dipaparkan dalam acara komunitas ilmuwan geolog di Cape Town, Afrika Selatan. Mereka menyimpulkan bahwa bencana letusan lumpur Sidoarjo bukan dipicu kegiatan pengeboran.
Laporan pertama dibuat berdasarkan studi due dilligence mengenai proses pengeboran. Pada laporan bertajuk Pengamatan pada Perencanaan Peristiwa Banjar Panji-1 dan Alasan Program Pengeboran, terungkap banyak hal. Antara lain soal perencanaan yang selayaknya operasi pengeboran demi menjaga prosedur industri. Perencanaan juga dilakukan dengan standar tinggi dengan menjaga keselamatan kru.
“Gempa dan gempa-gempa susulan di Yogyakarta serta dampak yang ditimbulkannya merupakan kunci penyebab kejadian,” demikian penggalan dalam laporan tersebut.
Laporan ini ditulis dua orang insinyur petroleum terkemuka. Mereka adalah Maurice Dusseault PhD dari Universitas Waterloo, Kanada dan Baldeo Singh, insinyur S3 dari Massachusetts Institute of Technology, AS.
Bencana letusan lumpur Sidoarjo berawal pada tanggal 29 Mei 2006. Peristiwa itu terjadi setelah gempa bumi yang berkekuatan 6,3 skala richter menyerang Yogyakarta dan sekitarnya. Lumpur panas mulai meletus dari retakan panjang pada jarak 200 km dari pusat terjadinya gempa.
Sejak itu, 150.000 m3 lumpur terus keluar tiap hari, menggenangi desa-desa sekitar dan menyebabkan kerusakan pada infrastruktur lokal. Menurut para ahli, aliran lumpur sepertinya dapat berkelanjutan hingga waktu lama.
Laporan kedua due diligence disodorkan Ralph Adams, insinyur asal Kanada yang sudah berpengalaman 29 tahun dalam pengeboran minyak dan gas di Indonesia. Adams menulis laporan Banjar Panji-1 Well Control Incident Report.
“Program pengeboran dan perubahan rangka sumur pengeboran bukan menjadi penyebab letusan. (Semburan) dibuka oleh gempa besar kurang dari 24 jam sebelum kena sumur,” tulisnya.
Dua hasil penelitian ini memperkuat kajian tim geologi Norwegia, Prancis, dan Rusia yang menyimpulkan gempa bumi Yogyakarta sebagai penyebab terjadinya letusan lumpur Sidoardjo. Tim yang dipimpin volkanolog lumpur, Dr. Adriano Mazzini dari University of Oslo, telah melaporkan hal ini di Earth and Planetary Science Letters pada 12 Juli 2007.
“Ini menunjukkan bahwa gempa bumi tersebut mendistribusikan tekanan berulang-ulang di beberapa bagian pada pulau Jawa,” tulis Dr. Mazzini dalam laporannya. Di beberapa tempat yang dapat memperparah pecahan pada kesalahan terdahulu, menyebabkan tekanan hawa menjadi lembab. Sehingga menyerap dan menghasilkan letusan melalui banyak proses di bawah permukaan tanah.
Semula, pendapat Davies sempat menghasilkan perhatian besar dari media. Beberepa LSM menggunakannya untuk menyerang perusahaan eksplorasi joint-venture Indonesia-Australia, Lapindo Brantas Inc. Lapindo berhasil membela diri di pengadilan saat di tuntut oleh sebuah LSM lokal. Sebab LSM tersebut gagal memberikan bukti-bukti yang menunjukan kesalahan Lapindo.
Langganan:
Postingan (Atom)